20 Mei merupakan tanggal yang tidak asing lagi bagi kita semua rakyat Indonesia, karena tanggal itu adalah hari lahirnya organisasi Boedi Oetomo, yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda.
Boedi Oetomo pada saat itu adalah perkumpulan kaum muda yang berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Mereka adalah hasil didikan lembaga pendidikan kolonial Belanda pada era politik etis, tapi dengan pendidikan yang mereka berbalik melawan kolonial Belanda. Semangat anti kolonialisme ini akhirnya tersebar luas hingga melahirkan organisasi pergerakan lainnya, yang kemudian mampu menggulingkan kekuasaan kolonial.
Namun sayangnya, sekalipun negara ini katanya telah merdeka, apa yang terjadi saat ini justru sangat jauh dari makna merdeka. Penjajahan nyata terjadi dialami kaum buruh, pelajar, petani, dan rakyat pekerja lainnya.
Hanya saja penjajahan yang kita alami sekarang tidak terlihat oleh kasat mata dan dengan cara kekerasan seperti yang dilakukan kolonial Belanda jaman dahulu, tetapi lewat investasi atau penanaman modal ke Indonesia yang melahirkan adanya kemudian melahirkan privatisasi aset-aset publik dan penguasaan kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing.
Sebagai contohnya di sektor perburuhan, kaum buruh saat ini terjerat dengan sistem kerja kontrak, outsourcing dan politik upah murah, yang merupakan rekomendasi dari Internasional Monetary Fund (IMF) untuk menerapkan Labour Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga kerja yang fleksibel. Terjadi perampasan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan kawasan pertambangan dan industri para pemodal.
Penetrasi neoliberalisme itu juga terlihat nyata dalam produk perundang-undangan kita yang sarat dengan titipan para pemodal asing, misalnya saja UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang memberikan kewenangan kontrak karya selama 95 tahun kepada perusahaan asing.
Dunia pendidikan pun tidak luput dari penetrasi Neoliberalisme. Pemerintah telah melepas tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang layak untuk warga negaranya, namun malah menyerahkannya ke mekanisme pasar. Hal ini kemudian berdampak memicu kenaikan besar-besaran biaya pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi, seperti misalnya kasus kenaikan biaya SP3 di kampus kami, Universitas Airlangga. Bisa akan mudah kita tebak bila liberalisasi pendidikan ini terus terjadi, anak-anak dari kaum buruh, petani, nelayan akan kesulitan di berkuliah di kampus kita ini.
Hal ini semakin menunjukkan bagaimana watak dari pemerintah kita hari ini, yang lebih suka korupsi dan menjadi anteknya negara-negara kapitalis. Pemerintah yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyatnya, justru melepas tanggung jawabnya dan tunduk kepada kaum pemodal. Hal ini jelas sangat bertentangan dan senyata-nyatanya merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita para pejuang kemerdekaan dulu yang menginginkan Indonesia setelah merdeka rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera.
Maka dari itulah dalam momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini, kami dari Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga menyatakan sikap :
1. Neoliberalisme (Penjajahan Gaya Baru) adalah musuh bersama dari Mahasiswa dan Rakyat Pekerja Indonesia.
2. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk membangun kantong-kantong perlawanan dalam rangka menghancurkan sistem kapitalisme-neoliberal yang terbukti hanya membawa kesengsaraan dan kemelaratan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar