- Zona Nano -
Oleh : Nano Che !
Salam Pembebasan !
A. Kondisi Rakyat Terkini
Kondisi Indonesia hari ini tak ubahnya seperti kondisi jaman kolonial masih berkuasa, dimana rakyatnya masih bergumul dengan kesengsaraan, kata-kata kesejahteraan seakan hanya menjadi janji-janji yang sudah muak diperdengarkan untuk rakyat di negeri ini. Rakyat Indonesia masih hidup memprihantinkan, sedangkan pemimpin negeri ini hanya sibuk mengurusi kepentingan-kepentingan golongan untuk sesuatu yang pasti yaitu UANG dan KEKUASAAN.
Kondisi terkini, dimana rakyat masih hidup memprihatinkan, hak-hak hidupnya telah dirampas. Hal ini tercermin oleh adanya ketimpangan sosial yang terjadi, mereka yang hidup digaris kemiskinan tak medapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan. Saat rakyat miskin sakit, mereka akan dipersulit dengan registrasi yang berbelit-belit dan mempersulit dan akhirnya seolah menyimpulkan bahwa " Orang Miskin Dilarang Sakit ", ketidak adilan bukan hanya terjadi dibagian kesehatan tapi juga terdapat pada dunia pendidikan, adanya program pendidikan WAJAR 12 Tahun hanya menjadi iming-iming yang tak dirasakan seluruh anak bangsa terutama mereka yang miskin. Pendidikan untuk rakyat miskin tak jarang pula diperjual belikan, kondisi dilapangan ini tentunya sudah diketahui oleh " Sang Penguasa ". Tapi mereka lebih suka bicara tentang politik kekuasaan .
B. Neoliberalisme dan Kapitalisme Membelenggu Rakyat.
Kondisi rakyat dinegeri ini yang kian memprihatinkan, hanya menjadi bahan tontonan dan diskusi "kosong" bagi para pemimpin negeri ini yang ujung-ujungnya tak pernah bermanfaat bagi rakyat. Mereka tahu kemiskinan telah merajarela negri yang kaya ini, tapi bagi mereka kemiskinan hanya menjadi angka yang fluktuatif, tak jarang mereka dengan "Congkak" memperdengarkan "Prestasi" semu bahwa mereka telah berhasil menekan angka kemiskinan dan pengangguran tanpa tahu bahwa dibalik itu semua hidup rakyat Indonesia semakin memprihatinkan.
Sikap pemimpin yang semakin "bobrok" ini tak terlepas dari sistem yang mereka anut dan di"agung-agun"kan sebagai jalan menuju kemajuan bangsa, yaitu "Neoliberalisme dan Kapitalisme". Sistem ini sebenarnya diciptakan oleh negara-negara kolonial barat yang ingin menguasai pasar-pasar potensial didunia untuk kepentingan modal mereka, salah satu favorit pasar potensial itu adalah negara-negara berkembang yang menyediakan banyak SDA (Sumber Daya Alam) dan SDM (Sumber Daya Manusia) dengan harga murah dan semua itu ada dan telah disediakan oleh Indonesia. Lihatlah seluruh kekayaan dinegeri ini sebagian besar dikuasai dan diolah perusahaan asing, rakyat hanya bisa merasakan akibat dari adanya eksploitasi alam, longsor, banjir dan gempa adalah warisan eksploitasi yang harus dirasakan rakyat. Kita tidak bisa berbuat banyak karena kekayaan alam ini telah dijual oleh para penguasa negeri ini .
Korban Neoliberalisme dan Kapitalisme bukan hanya kekayaan alamnya saja tapi juga sumber daya manusianya pun siap untuk diperas habis-habisan, ya ! hal ini sangat pasti terjadi karena pemimpin negeri telah menjajikan dan menyiapkan tenaga manusia yang dapat digaji murah. Hal ini dapat tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang menetapkan kebijakan UMK (Upah Minimum Kerja) yang jauh dari kata cukup bahkan untuk makan saja masih terbilang pas-pas'an, UMK yang tidak menyentuh standart upah layak-pun ( 2jt ) seakan menjadi kebijakan yang mencekik kehidupan kaum buruh di Indonesia. Selain kebijakan pengupahan, pemerintah juga menjadi robot bagi para pemodal melalui kebijakan-kebijakannya, banyak kebijakan yang menjadi harapan kaum buruh hanya menjadi wacana basi atau bahkan hanya menjadi tumpukan kertas yang tak jelas penerapannya, kebijakan itu antara lain Jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Kebijakan Perburuhan sampai pada UU Perlindungan Ketenagakerjaan. Selain buruh dalam negeri, Indonesia pun siap mengekspor tenaga kerja ke luar negeri, tentunya juga dengan harga yang terjangkau namun bisa diperlakukan sesuka hati, tak adanya perindungan kepada para pahlawan devisa negara seakan secara tidak langsung menyatakan bahwa para pekerja Indonesia ini siap untuk diperlakukan sesuka hati bahkan sampai kehilangan nyawa.
C. Kebangkitan Rakyat dan Semangat Sosialisme, Pintu Masuk Menuju Kesejahteraan Rakyat !
Segala penderitaan hidup rakyat Indonesia, saat ini telah terakumulasi menjadi sebuah rasa muak yang tertahan dan terpendam. Rakyat telah berhasil disibukkan dengan pemikiran bagaimana cara agar tetap bisa bertahan hidup, sadarilah bahwa selama kita masih berfikir seperti itu maka selama itu kita akan terus diperas habis-habisan. Maka dari itu mulailah untuk berfikir, bagaimana cara kita keluar dari " Belenggu Setan" ini ? bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk bisa merasakan kesejahteraan hidup di negeri sendiri. Singkatnya kebangkitan rakyat dan semangat sosialisme dengan jargon "Pembebasan Nasional" bisa dijadikan pintu keluar menuju kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya .
Bangkitlah Rakyat Indonesia, Nasib kita ada di tangan kita sendiri . . .
Bukan di tangan para Pemodal . . .
Bukan di Meja-meja lobi para penguasa negeri ini . . .
Tapi, ditangan dan semangat RAKYAT INDONESIA . . .
Senin, 23 Mei 2011
Nak, Urungkan Niatmu Jadi Sarjana...
Oleh Daus
KOMPAS.com — "Maafkan aku, Nak, ya. Urungkan niatmu untuk menjadi sarjana. Ayah tidak sanggup menyediakan uang sebesar itu dalam waktu sekejap."
Kata itu mungkin yang sering muncul dari seorang ayah yang anaknya diterima menjadi mahasiswa jalur undangan perguruan tinggi negeri (PTN). Dulu, jalur ini dikenal dengan penelusuran minat dan kemampuan, atau kerap disingkat PMDK.
Bagaimana tidak, seorang teman di Facebook, Coen Husain Pontoh, menuliskan keluh kesahnya di statusnya. "Keponakan saya keterima di salah satu universitas terkemuka di Pulau Jawa melalui jalur "undangan". Tapi, untuk bisa masuk kuliah, ia pertama kali harus bayar Rp 40 juta kontan," tulisnya.
"Kampusnya terkenal sebagai kampus rakyat, namanya: Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta," tulisnya di
http://www.facebook.com/home.php#!/coenhusainpontoh/posts/10150185073318500.
Bayangkan, orangtua yang gajinya di atas upah minimum, katakanlah Rp 2,5 juta per bulan, belum tentu bisa menyediakan uang sebesar itu dalam waktu singkat. Kecuali, kalau orangtua itu nyambi korupsi tentunya. Padahal, upah minimum seorang buruh atau karyawan/karyawati di Jakarta berkisar Rp 1,2 juta.
Pada situs Pemprov DKI Jakarta tertanggal 29 November 2010 diberitakan bahwa upah minimum DKI Jakarta (UMP/UMR DKI Jakarta) tahun 2011 ditetapkan sebesar Rp 1.290.000 per bulan per orang. Apa ini artinya? Artinya, jika kita anak seorang buruh yang gajinya sesuai dengan upah minimum atau dua kalinya upah minimum yang ditetapkan pemerintah, kita dilarang untuk menjadi mahasiswa.
Kampus hanya untuk orang kaya. Orang miskin dilarang masuk kampus untuk belajar. Yang boleh belajar di kampus adalah orang-orang kaya. Sementara jika pendidikan tinggi adalah salah satu pintu masuk untuk mengubah kehidupan agar lebih baik, pintu itu sekarang sudah perlahan-lahan ditutup.
Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetaplah miskin. Tak peduli di negeri yang mengklaim berdasarkan Pancasila, yang berdasarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Yang jelas di negeri ini anak orang miskin silakan minggir dari pendidikan tinggi.
"Salah sendiri lu miskin, orang miskin, enyah aja lu".
Mungkin, itu kata-kata yang muncul di pikiran, hati, dan lisan para petinggi negeri ini, yang membiarkan komersialisasi pendidikan semakin menggila.
Nak, urungkan niatmu jadi sarjana ya….
Sudah jangan menangis terus, Nak….
Mungkin kita hidup di negeri yang salah.…
Di negeri yang menganggap orang-orang miskin hanya sekadar angka, bukan warga negara….
KOMPAS.com — "Maafkan aku, Nak, ya. Urungkan niatmu untuk menjadi sarjana. Ayah tidak sanggup menyediakan uang sebesar itu dalam waktu sekejap."
Kata itu mungkin yang sering muncul dari seorang ayah yang anaknya diterima menjadi mahasiswa jalur undangan perguruan tinggi negeri (PTN). Dulu, jalur ini dikenal dengan penelusuran minat dan kemampuan, atau kerap disingkat PMDK.
Bagaimana tidak, seorang teman di Facebook, Coen Husain Pontoh, menuliskan keluh kesahnya di statusnya. "Keponakan saya keterima di salah satu universitas terkemuka di Pulau Jawa melalui jalur "undangan". Tapi, untuk bisa masuk kuliah, ia pertama kali harus bayar Rp 40 juta kontan," tulisnya.
"Kampusnya terkenal sebagai kampus rakyat, namanya: Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta," tulisnya di
http://www.facebook.com/home.php#!/coenhusainpontoh/posts/10150185073318500.
Bayangkan, orangtua yang gajinya di atas upah minimum, katakanlah Rp 2,5 juta per bulan, belum tentu bisa menyediakan uang sebesar itu dalam waktu singkat. Kecuali, kalau orangtua itu nyambi korupsi tentunya. Padahal, upah minimum seorang buruh atau karyawan/karyawati di Jakarta berkisar Rp 1,2 juta.
Pada situs Pemprov DKI Jakarta tertanggal 29 November 2010 diberitakan bahwa upah minimum DKI Jakarta (UMP/UMR DKI Jakarta) tahun 2011 ditetapkan sebesar Rp 1.290.000 per bulan per orang. Apa ini artinya? Artinya, jika kita anak seorang buruh yang gajinya sesuai dengan upah minimum atau dua kalinya upah minimum yang ditetapkan pemerintah, kita dilarang untuk menjadi mahasiswa.
Kampus hanya untuk orang kaya. Orang miskin dilarang masuk kampus untuk belajar. Yang boleh belajar di kampus adalah orang-orang kaya. Sementara jika pendidikan tinggi adalah salah satu pintu masuk untuk mengubah kehidupan agar lebih baik, pintu itu sekarang sudah perlahan-lahan ditutup.
Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetaplah miskin. Tak peduli di negeri yang mengklaim berdasarkan Pancasila, yang berdasarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Yang jelas di negeri ini anak orang miskin silakan minggir dari pendidikan tinggi.
"Salah sendiri lu miskin, orang miskin, enyah aja lu".
Mungkin, itu kata-kata yang muncul di pikiran, hati, dan lisan para petinggi negeri ini, yang membiarkan komersialisasi pendidikan semakin menggila.
Nak, urungkan niatmu jadi sarjana ya….
Sudah jangan menangis terus, Nak….
Mungkin kita hidup di negeri yang salah.…
Di negeri yang menganggap orang-orang miskin hanya sekadar angka, bukan warga negara….
Marzuki Alie: 70% Anggota DPR Bawa Petaka
"Ini yang menyebabkan masyarakat rindu terhadap Orde Baru."
Minggu, 22 Mei 2011, 05:47 WIB
VIVAnews - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie mengatakan, banyak anggota DPR yang masih muda dan berwajah baru --yang selama ini diharapkan membawa perubahan nasib bangsa ke arah yang lebih baik-- justru malah membuat lembaga parlemen semakin bobrok. “70 persen yang muda dan baru-baru itu, justru malah membawa petaka,” kata dia saat memberi sambutan dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Bimbingan Teknis Partai Demokrasi Pembaruan di Denpasar, Bali, Sabtu malam, 21 Mei 2011.
"Ini yang menyebabkan kerinduan masyarakat terhadap Orde Baru. Kenapa begitu? Karena DPR-nya bobrok."
Dia mengakatakan, sejak September 2009, berdasarkan hasil survei sebuah lembaga, kepercayaan publik terhadap legislatif terus menurun. Ia menyebut angka di kisaran 24 persen. Padahal, DPR kali ini merupakan produk reformasi yang diharapkan mampu berbuat lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Tetapi, setelah 10 tahun berjalan apa yang terjadi? Kasus korupsi, asusila, dan arogansi justru terjadi pada anggota DPR. DPR itu menjadi sumber masalah. Itu fakta,” katanya.
Menurut dia, peralihan kekuasaan dari Orde Baru ke Ode Reformasi diharapkan mampu mengubah kesan DPR dari pemberi legitimasi kebijakan penguasa menjadi badan kontrol dan penyambung aspirasi publik. Tetapi, katanya, peran itu tak mampu dijalankan anggota DPR. “Yang duduk di DPR sekarang itu hanya mikir duit, dan duit saja. Hampir seperti selebriti, cari panggung, ngomong sana-ngomong sini. Sementara yang tidak bisa ngomong datang, absen lalu pulang," katanya.
Untuk itu, tak ada cara selain melakukan perubahan mendasar di lembaga perwakilan rakyat tersebut. “Perubahannya melalui sistem. Karenanya kita buat rencana strategis. Kita harus ubah total. Proses kaderisasi di partai politik itu harus berjalan, harus ada pembenahan secara sistematis,” ujarnya. (Laporan Bobby Andalan, Bali)
• VIVAnews
Minggu, 22 Mei 2011
Banyak dari Teman-temanku Tak Bisa Kuliah
Oleh : Nano Che
Gong ke”LULUS”an sudah dibunyikan, beragam cara dilakukan untuk merayakan kesuksesan ini. Ya ! mereka yang lulus UNAS tahun ini terasa lebih istimewa, karena mereka telah lolos dari ” UJIAN PERCOBAAN “ yang diklaim sebagai sistem terbaik karena menggunakan lima soal berbeda .
Tapi, kegembiraan itu akan terasa sesaat. Karena setelah itu kami yang dinyatakan LULUS harus memeras dan memaksa otak untuk “Kerja Rodi” memikirkan bagaimana nasib selanjutnya . Ada dua pilhan yang paling mendasar yaitu pilih “KULIAH atau KERJA” tentu kuliah menjadi pilihan utama untuk sebuah masa depan yang lebih cerah .
Hari itu 18 Mei 2011, aku menerima kunjungan dari beberapa kawan lama. Masalah masa depan jadi trending topik kita hari itu, dari pembahasan panjang itu timbul keluhan mengenai biaya perkuliahan yang semakin menggila. Ya, keluhan mereka buka keluhan kosong paling tidak dikota kami, kota Surabaya tercinta beberapa UNIVERSITAS NEGERI menaikkan biaya masuk kuliah. Kabar itu tentu terdengar oleh sebagian pelajar termasuk kawan-kawanku banyak dari mereka akhirnya memilih untuk BEKERJA pilihan yang sulit memang, tapi inilah hidup bagi mereka kalau biaya kuliah naik maka kuliah pun bisa jadi hanya mimpi.
Mereka harus berkorban. Korbannya adalah masa depan mereka sendiri, lihat orang tuanya mencari nafkah untuk hidupi keluarga, sedang adiknya masih membutuhkan pendidikan juga. Suatu keadaan yang membuat mereka tak bisa memaksakan mimpi karena tembok-tembok materi yang menghadang, tak ada yang salah dengan keputusan mereka . Yang salah adalah sikap pemimpin-pemimpin negeri ini yang bertanggung jawab melalui pemerintah, mereka tahu akan kondisi seperti ini karena nasib ini banyak menimpa anak bangsa yang alamnya kaya raya ini. Mereka hanya bisa diam melihat potret miris nasib anak bangsa, mereka hanya bisa menuntut HAK mereka ( Mlancong dan perbaikan fasilitas ) tanpa melaksanakan KEWAJIBAN mereka sebagai pemimpin bangsa .
Dengarkan Teriakan Kami, Anak Bangsa Yang Mimpinya Kau KANDAS-kan :
” KAMI TAK PEDULI DENGAN CARUT MARUT POLITIK dan KEKUASAAN, KAMI HANYA INGIN MEMINTA SATU HAL, DENGARKAN SUARA KAMI YANG MASIH PUNYA MIMPI UNTUK BANGSA INI: ” KAMI INGIN KULIAH , PAK !!! “
Gong ke”LULUS”an sudah dibunyikan, beragam cara dilakukan untuk merayakan kesuksesan ini. Ya ! mereka yang lulus UNAS tahun ini terasa lebih istimewa, karena mereka telah lolos dari ” UJIAN PERCOBAAN “ yang diklaim sebagai sistem terbaik karena menggunakan lima soal berbeda .
Tapi, kegembiraan itu akan terasa sesaat. Karena setelah itu kami yang dinyatakan LULUS harus memeras dan memaksa otak untuk “Kerja Rodi” memikirkan bagaimana nasib selanjutnya . Ada dua pilhan yang paling mendasar yaitu pilih “KULIAH atau KERJA” tentu kuliah menjadi pilihan utama untuk sebuah masa depan yang lebih cerah .
Hari itu 18 Mei 2011, aku menerima kunjungan dari beberapa kawan lama. Masalah masa depan jadi trending topik kita hari itu, dari pembahasan panjang itu timbul keluhan mengenai biaya perkuliahan yang semakin menggila. Ya, keluhan mereka buka keluhan kosong paling tidak dikota kami, kota Surabaya tercinta beberapa UNIVERSITAS NEGERI menaikkan biaya masuk kuliah. Kabar itu tentu terdengar oleh sebagian pelajar termasuk kawan-kawanku banyak dari mereka akhirnya memilih untuk BEKERJA pilihan yang sulit memang, tapi inilah hidup bagi mereka kalau biaya kuliah naik maka kuliah pun bisa jadi hanya mimpi.
Mereka harus berkorban. Korbannya adalah masa depan mereka sendiri, lihat orang tuanya mencari nafkah untuk hidupi keluarga, sedang adiknya masih membutuhkan pendidikan juga. Suatu keadaan yang membuat mereka tak bisa memaksakan mimpi karena tembok-tembok materi yang menghadang, tak ada yang salah dengan keputusan mereka . Yang salah adalah sikap pemimpin-pemimpin negeri ini yang bertanggung jawab melalui pemerintah, mereka tahu akan kondisi seperti ini karena nasib ini banyak menimpa anak bangsa yang alamnya kaya raya ini. Mereka hanya bisa diam melihat potret miris nasib anak bangsa, mereka hanya bisa menuntut HAK mereka ( Mlancong dan perbaikan fasilitas ) tanpa melaksanakan KEWAJIBAN mereka sebagai pemimpin bangsa .
Dengarkan Teriakan Kami, Anak Bangsa Yang Mimpinya Kau KANDAS-kan :
” KAMI TAK PEDULI DENGAN CARUT MARUT POLITIK dan KEKUASAAN, KAMI HANYA INGIN MEMINTA SATU HAL, DENGARKAN SUARA KAMI YANG MASIH PUNYA MIMPI UNTUK BANGSA INI: ” KAMI INGIN KULIAH , PAK !!! “
FAM UNAIR : AKSI MEMPERINGATI HARI KEBANGKITAN NASIONAL !!
20 Mei merupakan tanggal yang tidak asing lagi bagi kita semua rakyat Indonesia, karena tanggal itu adalah hari lahirnya organisasi Boedi Oetomo, yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda.
Boedi Oetomo pada saat itu adalah perkumpulan kaum muda yang berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Mereka adalah hasil didikan lembaga pendidikan kolonial Belanda pada era politik etis, tapi dengan pendidikan yang mereka berbalik melawan kolonial Belanda. Semangat anti kolonialisme ini akhirnya tersebar luas hingga melahirkan organisasi pergerakan lainnya, yang kemudian mampu menggulingkan kekuasaan kolonial.
Namun sayangnya, sekalipun negara ini katanya telah merdeka, apa yang terjadi saat ini justru sangat jauh dari makna merdeka. Penjajahan nyata terjadi dialami kaum buruh, pelajar, petani, dan rakyat pekerja lainnya.
Hanya saja penjajahan yang kita alami sekarang tidak terlihat oleh kasat mata dan dengan cara kekerasan seperti yang dilakukan kolonial Belanda jaman dahulu, tetapi lewat investasi atau penanaman modal ke Indonesia yang melahirkan adanya kemudian melahirkan privatisasi aset-aset publik dan penguasaan kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing.
Sebagai contohnya di sektor perburuhan, kaum buruh saat ini terjerat dengan sistem kerja kontrak, outsourcing dan politik upah murah, yang merupakan rekomendasi dari Internasional Monetary Fund (IMF) untuk menerapkan Labour Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga kerja yang fleksibel. Terjadi perampasan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan kawasan pertambangan dan industri para pemodal.
Penetrasi neoliberalisme itu juga terlihat nyata dalam produk perundang-undangan kita yang sarat dengan titipan para pemodal asing, misalnya saja UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang memberikan kewenangan kontrak karya selama 95 tahun kepada perusahaan asing.
Dunia pendidikan pun tidak luput dari penetrasi Neoliberalisme. Pemerintah telah melepas tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang layak untuk warga negaranya, namun malah menyerahkannya ke mekanisme pasar. Hal ini kemudian berdampak memicu kenaikan besar-besaran biaya pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi, seperti misalnya kasus kenaikan biaya SP3 di kampus kami, Universitas Airlangga. Bisa akan mudah kita tebak bila liberalisasi pendidikan ini terus terjadi, anak-anak dari kaum buruh, petani, nelayan akan kesulitan di berkuliah di kampus kita ini.
Hal ini semakin menunjukkan bagaimana watak dari pemerintah kita hari ini, yang lebih suka korupsi dan menjadi anteknya negara-negara kapitalis. Pemerintah yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyatnya, justru melepas tanggung jawabnya dan tunduk kepada kaum pemodal. Hal ini jelas sangat bertentangan dan senyata-nyatanya merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita para pejuang kemerdekaan dulu yang menginginkan Indonesia setelah merdeka rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera.
Maka dari itulah dalam momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini, kami dari Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga menyatakan sikap :
1. Neoliberalisme (Penjajahan Gaya Baru) adalah musuh bersama dari Mahasiswa dan Rakyat Pekerja Indonesia.
2. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk membangun kantong-kantong perlawanan dalam rangka menghancurkan sistem kapitalisme-neoliberal yang terbukti hanya membawa kesengsaraan dan kemelaratan rakyat.
Boedi Oetomo pada saat itu adalah perkumpulan kaum muda yang berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Mereka adalah hasil didikan lembaga pendidikan kolonial Belanda pada era politik etis, tapi dengan pendidikan yang mereka berbalik melawan kolonial Belanda. Semangat anti kolonialisme ini akhirnya tersebar luas hingga melahirkan organisasi pergerakan lainnya, yang kemudian mampu menggulingkan kekuasaan kolonial.
Namun sayangnya, sekalipun negara ini katanya telah merdeka, apa yang terjadi saat ini justru sangat jauh dari makna merdeka. Penjajahan nyata terjadi dialami kaum buruh, pelajar, petani, dan rakyat pekerja lainnya.
Hanya saja penjajahan yang kita alami sekarang tidak terlihat oleh kasat mata dan dengan cara kekerasan seperti yang dilakukan kolonial Belanda jaman dahulu, tetapi lewat investasi atau penanaman modal ke Indonesia yang melahirkan adanya kemudian melahirkan privatisasi aset-aset publik dan penguasaan kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing.
Sebagai contohnya di sektor perburuhan, kaum buruh saat ini terjerat dengan sistem kerja kontrak, outsourcing dan politik upah murah, yang merupakan rekomendasi dari Internasional Monetary Fund (IMF) untuk menerapkan Labour Market Flexibility (LMF) atau pasar tenaga kerja yang fleksibel. Terjadi perampasan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan kawasan pertambangan dan industri para pemodal.
Penetrasi neoliberalisme itu juga terlihat nyata dalam produk perundang-undangan kita yang sarat dengan titipan para pemodal asing, misalnya saja UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang memberikan kewenangan kontrak karya selama 95 tahun kepada perusahaan asing.
Dunia pendidikan pun tidak luput dari penetrasi Neoliberalisme. Pemerintah telah melepas tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang layak untuk warga negaranya, namun malah menyerahkannya ke mekanisme pasar. Hal ini kemudian berdampak memicu kenaikan besar-besaran biaya pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi, seperti misalnya kasus kenaikan biaya SP3 di kampus kami, Universitas Airlangga. Bisa akan mudah kita tebak bila liberalisasi pendidikan ini terus terjadi, anak-anak dari kaum buruh, petani, nelayan akan kesulitan di berkuliah di kampus kita ini.
Hal ini semakin menunjukkan bagaimana watak dari pemerintah kita hari ini, yang lebih suka korupsi dan menjadi anteknya negara-negara kapitalis. Pemerintah yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyatnya, justru melepas tanggung jawabnya dan tunduk kepada kaum pemodal. Hal ini jelas sangat bertentangan dan senyata-nyatanya merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita para pejuang kemerdekaan dulu yang menginginkan Indonesia setelah merdeka rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera.
Maka dari itulah dalam momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini, kami dari Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga menyatakan sikap :
1. Neoliberalisme (Penjajahan Gaya Baru) adalah musuh bersama dari Mahasiswa dan Rakyat Pekerja Indonesia.
2. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk membangun kantong-kantong perlawanan dalam rangka menghancurkan sistem kapitalisme-neoliberal yang terbukti hanya membawa kesengsaraan dan kemelaratan rakyat.
Jumat, 20 Mei 2011
FAM UNAIR : MELAWAN "AMNESIA" SEJARAH, LAWAN NEOLIBERALISME PENDIDIKAN
FAM UNAIR: Sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia banyak melahirkan orang-orang yang mempunyai peran penting dalam perjuangan nasional mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Orang-orang tersebut sebagian besar adalah orang-orang yang didik dengan cara pandang dan lembaga pendidikan kolonial, yang mana lembaga pendidikan itu tumbuh dan berkembang semenjak Belanda menerapkan politik etis. Walaupun di didik dengan cara berfikir dan di lembaga pendidikan kolonial, ternyata masih ada sebagian peserta didik tersebut malah mempunyai gagasan yang bertentangan dan menolak keras keberadaan kolonial Belanda. Mereka berani melawan arus dengan menjadi pelopor perjuangan kemerdekaan. Salah satu tokoh pergerakan nasional tersebut adalah W. R. Supratman, yang tak lain merupakan penggubah lagu nasional kita, Indonesia Raya. Beliau merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional, seorang intelektual sekaligus seniman yang ikut berjasa dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan indonesia. Dari lantunan nada dan bait lagu Indonesia Raya yang dia ciptakan itu, telah berhasil membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam melawan Kolonialisme.
Aksi ziarah ke makam W.R Supratman ini sengaja kami lakukan, karena kami memandang hari ini kita semua mengalami krisis kepemimpinan dan sedang berada dalam kekuasaan neoliberalisme (penjajahan gaya baru). Di saat kuasa Neoliberalisme telah menghancurkan kedaulatan bangsa dan membuat Rakyat Indonesia menjadi budak di negerinya sendiri, para intelektual negeri ini ternyata malah hanya bungkam saja. Hal itu tentunya berbeda jauh dengan apa yang di lakukan oleh W.R Supratman dulu, walaupun beliau di didik dalam lembaga pendidikan kolonial Belanda, tetapi beliau mempunyai jiwa yang berani untuk tidak tunduk dan takut pada para penjajah.
Kondisi kebungkaman kaum intelektula itu kami rasakan sendiri di kampus tempat kita berkuliah, Universitas Airlangga. Saat ini para pejabat unair memilih diam terhadap segala intervensi pemodal asing melalui IMF, World Bank dan ADB (Asian development Bank) yang ingin mengusai dunia pendidikan nasional, tak terkecuali di Universitas Airlangga. Kenaikan biaya SP3 yang terjadi di unair saat ini adalah bukti nyata bagaimana pejabat Unair menjadi intelektual yang jauh dari kepentingan rakyat dan lupa terhadap perjuangan para pendahulunya. Mereka boleh saja mengaku kaum intelektual yang memegang prinsip excellent with morrality, tetapi sebenarnya mereka tak lebih intelektual yang berwatak Inlander (terjajah) dan rela menjadi anteknya kaum pemodal asing. Sehingga tidak lah mengherankan kalau para pejabat unair sendiri, tidak malu saat menyebarkan kebohongan publik bahwa Unair akan menggratiskan biaya pendidikan bagi rakyat miskin, padahal sebenarnya semua itu hanya palsu belaka.
Sungguh kami sangat miris, ketika saat ini melihat para dosen dan pejabat Unair yang mempunyai gelar sebrek tersebut, ternyata telah melupakan sejarah perjuangan para tokoh pergerakan nasional pada masa dulu. Mereka telah lupa pula terhadap sejarah kampus Unair sendiri, yang pada awalnya merupakan hasil jerih payah para pejuang kemerdekaan menasionalisasi dua lembaga pendidikan kolonial Belanda, NIAS dan STOVIT, yang kemudian oleh presiden Soekarno pada tahun 1954 di rubah menjadi Universitas Airlangga.
Maka dari itulah, kami dari FAM UNAIR mengadakan aksi ziarah ke makam Dr. Wage Rudolf Supratman sebagai simbol mengingatakan kembali para pejabat Unair agar tidak lupa terhadap sejarah perjuangan para pejuang kemerdekaan dulu. Dalam aksi ziarah yang juga sekaligus satu bagian acara menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 2011 ini, kami FAM Unair menyatakan sikap :
1. Menolak kenaikan biaya SP3 Unair karena kebijakan itu sarat dengan intervensi para pemodal asing yang ingin menguasai dan memprivatisasi lembaga pendidikan di Indonesia, tak terkecuali Universitas Airlangga.
2. Menuntut para pejabat Unair untuk segera membatalkan kebijakan kenaikan Biaya SP3 tersebut karena sangat memberatkan rakyat kecil dan mengkhianati perjuangan para pejuang kemerdekaan dulu.
3. Menyerukan kepada bapak ibu dosen dan pejabat Unair untuk tidak lupa pada sejarah perjuangan W. R. Supratman dan meneladani sikap beliau yang anti terhadap penjajahan.
Surabaya, 19 Mei 2011
Aksi ziarah ke makam W.R Supratman ini sengaja kami lakukan, karena kami memandang hari ini kita semua mengalami krisis kepemimpinan dan sedang berada dalam kekuasaan neoliberalisme (penjajahan gaya baru). Di saat kuasa Neoliberalisme telah menghancurkan kedaulatan bangsa dan membuat Rakyat Indonesia menjadi budak di negerinya sendiri, para intelektual negeri ini ternyata malah hanya bungkam saja. Hal itu tentunya berbeda jauh dengan apa yang di lakukan oleh W.R Supratman dulu, walaupun beliau di didik dalam lembaga pendidikan kolonial Belanda, tetapi beliau mempunyai jiwa yang berani untuk tidak tunduk dan takut pada para penjajah.
Kondisi kebungkaman kaum intelektula itu kami rasakan sendiri di kampus tempat kita berkuliah, Universitas Airlangga. Saat ini para pejabat unair memilih diam terhadap segala intervensi pemodal asing melalui IMF, World Bank dan ADB (Asian development Bank) yang ingin mengusai dunia pendidikan nasional, tak terkecuali di Universitas Airlangga. Kenaikan biaya SP3 yang terjadi di unair saat ini adalah bukti nyata bagaimana pejabat Unair menjadi intelektual yang jauh dari kepentingan rakyat dan lupa terhadap perjuangan para pendahulunya. Mereka boleh saja mengaku kaum intelektual yang memegang prinsip excellent with morrality, tetapi sebenarnya mereka tak lebih intelektual yang berwatak Inlander (terjajah) dan rela menjadi anteknya kaum pemodal asing. Sehingga tidak lah mengherankan kalau para pejabat unair sendiri, tidak malu saat menyebarkan kebohongan publik bahwa Unair akan menggratiskan biaya pendidikan bagi rakyat miskin, padahal sebenarnya semua itu hanya palsu belaka.
Sungguh kami sangat miris, ketika saat ini melihat para dosen dan pejabat Unair yang mempunyai gelar sebrek tersebut, ternyata telah melupakan sejarah perjuangan para tokoh pergerakan nasional pada masa dulu. Mereka telah lupa pula terhadap sejarah kampus Unair sendiri, yang pada awalnya merupakan hasil jerih payah para pejuang kemerdekaan menasionalisasi dua lembaga pendidikan kolonial Belanda, NIAS dan STOVIT, yang kemudian oleh presiden Soekarno pada tahun 1954 di rubah menjadi Universitas Airlangga.
Maka dari itulah, kami dari FAM UNAIR mengadakan aksi ziarah ke makam Dr. Wage Rudolf Supratman sebagai simbol mengingatakan kembali para pejabat Unair agar tidak lupa terhadap sejarah perjuangan para pejuang kemerdekaan dulu. Dalam aksi ziarah yang juga sekaligus satu bagian acara menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 2011 ini, kami FAM Unair menyatakan sikap :
1. Menolak kenaikan biaya SP3 Unair karena kebijakan itu sarat dengan intervensi para pemodal asing yang ingin menguasai dan memprivatisasi lembaga pendidikan di Indonesia, tak terkecuali Universitas Airlangga.
2. Menuntut para pejabat Unair untuk segera membatalkan kebijakan kenaikan Biaya SP3 tersebut karena sangat memberatkan rakyat kecil dan mengkhianati perjuangan para pejuang kemerdekaan dulu.
3. Menyerukan kepada bapak ibu dosen dan pejabat Unair untuk tidak lupa pada sejarah perjuangan W. R. Supratman dan meneladani sikap beliau yang anti terhadap penjajahan.
Surabaya, 19 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)